Senin, 28 Juni 2010

PESANTREN NU

PESANTREN: EMBRIO NU, ORGANISASI ISLAM TERBESAR DI DUNIA.
(Sebuah Penghargaan Kepada Para Ulama Penjaga Tradisi)

Oleh : IMAM MARSUS

Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU telah menorehkan catatan yang amat layak untuk dibaca dan diperhitungkan. Baik dalam hubungannya dengan gerakan syiar keagamaan, gerakan kebangsaan dan kenegaraan, gerakan sosial kemasyarakatan maupun sebagai gerakan pemikiran. NU, yang notabene adalah organisasi yang didirikan oleh para alim ulama, adalah wadah bagi penerus cita-cita para ulama terdahulu yang berupaya mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Bila dilacak secara runtut dari sisi historis dan kultural, dari awal mula dideklarasikannya faham Ahlussunnah Wal Jamaah oleh Abu Musa Al Asy’arie di masa berakhirnya kepemimpinan Khulafaurrasyidin hingga dideklarasikannya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada tahun 1926 oleh para ulama yang dimotori oleh Hadratusyekh K.H. Hasyim Asy’ari, maka sampai kini faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang menjadi dasar teologi organisasi NU telah mengalami perjalanan yang amat panjang dan tetap eksis hingga kini. Dan sebagai sebuah organisasi massa Islam terbesar di dunia, NU juga adalah asset penting yang mempunyai sumbangan nyata bagi eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia dari masa ke masa.
Sedikit dari beberapa bukti tentang hal itu dapat dicontohkan dengan banyaknya lembaga pendidikan pesantren yang telah didirikan dan dikelola oleh para ulama NU yang sampai kini telah mencapai ribuan jumlahnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

PESANTREN, LEMBAGA PENDIDIKAN TERTUA Di INDONESIA.

Secara historis, sejarah panjang perjalanan lembaga pendidikan pesantren tidak terlepas dari taktik dan strategi para penyebar Islam generasi pertama di pulau Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Metode pengajaran model pesantren adalah warisan dari para wali yang saat itu tengah berupaya mendidik masyarakat pesisir pulau Jawa dengan dasar-dasar keilmuan agama Islam.
Berbeda dengan metode pengajaran pelajaran keagamaan seperti yang sudah berjalan di tempat asal agama Islam berasal, di jazirah Arab dengan metode keilmuan yang lebih sistematis dan terlembaga (masa kedatangan para wali generasi pertama ke tanah Jawa adalah masa di mana peradaban Islam telah melewati masa kejayaannya dengan salah satu produk peradabannya adalah banyaknya universitas-universitas di kota-kota utama negara-negara Arab seperti Mekah, Madinah, Kuffah, Baghdad, Iskandariah maupun yang paling terkenal adalah Universitas Al-Azhar di kota Kairo, Mesir), maka model pengajaran pesantren generasi awal adalah metode pengajaran sederhana dengan pendekatan setahap demi setahap sang guru kepada para muridnya.
Situasi sosial-politik dan kondisi geografis pulau Jawa era keruntuhan kerajaan Majapahit pada waktu itu, ditambah masih kuatnya kepercayaan sinkretisme (percampuran berbagai macam pengaruh kepercayaan dan agama) seperti Animisme, Hindu dan Budha yang masih mengakar kuat, belum memungkinkan para wali untuk membangun lembaga pendidikan keagamaan yang mengikat, ketat, disiplin dan sistematis dengan dasar disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan yang sudah mapan seperti yang ada di negara-negara Arab. Namun setahap demi setahap, seiring bertambah kuatnya pengaruh ajaran para wali di tengah masyarakat Jawa yang kemudian melahirkan banyak sekali para ulama, maka berkembang pula model pengajaran para ulama kepada para murid-muridnya dengan memakai pola-pola pengajaran tertentu. Para ulama di Jawa disebut dengan kyai. Dan para muridnya sering disebut santri.
Khusus mengenai pengertian kata santri, dapat dimaknai secara lebih sempit dan secara lebih luas. Secara sempit, makna santri adalah “seorang murid sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren”. Dalam hal ini, santri difahami sebagai pelajar agama yang mempunyai ikatan utama yang kuat dan mengakar dengan kyai-nya di pondok. Dan secara makna lebih luas, makna santri adalah “bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang secara khusyuk, pergi ke masjid setiap hari Jum’at dan sebagainya. (Clifford Geertz: Abangan, Santri dan Priyayi. 1960. Pustaka Jaya-Jakarta)Dari pengertian kata santri itulah, maka kemudian lahir istilah pesantren yang kemudian berkembang luas menjadi istilah umum yang dapat diterima dan berkembang di mana-mana sebagai istilah tempat anak-anak muda mencari ilmu pengetahuan. Sesuai dengan konteks zaman, era penyebaran jumlah pesantren yang mengalami pertumbuhan amat pesat di era jaman penjajahan Belanda adalah karena pada saat itu, pesantren merupakan lembaga pendidikan satu-satunya yang ada. Model pendidikan lain yang ada waktu itu, hanya terdapat di kalangan wilayah keraton yang sifatnya feodalistik, eklusif dan elitis, karena hanya terbatas pendidikan para keluarga keturunan raja oleh para pujangga yang tinggal di istana. (Greg Barton: Biografi Gus Dur. Lkis-Jogjakarta)
Berbeda dengan model pendidikan keraton yang sangat eksklusif dan elitis itu, pondok pesantren terlahir dari keinginan para ulama untuk mendidik para muridnya yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Di samping sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga dijadikan sebagai basis perlawanan ulama dan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, maka sejarah pesantren juga adalah sejarah perlawanan utama rakyat Indonesia terhadap kekuasaan atau oposisi paling depan melawan hegemoni kekuasaan kolonial Belanda. Perlawanan pesantren terhadap bangsa penjajah paling nyata adalah ketika masa perang kolonial paling dahsyat terjadi di bumi Nusantara, yaitu Perang Diponegoro atau terkenal dengan sebutan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Pada masa itu, Pangeran Diponegoro yang notabene adalah berasal keluarga keraton, sedari kecilnya memilih menjauh dari lingkungan keraton yang penuh kemewahan untuk hidup bersahaja sambil menimba ilmu keagamaan dan tinggal di pesantren sederhana milik neneknya di daerah Tegalrejo.
Seratus tahun lebih kemudian, ulama pesantren mencatat sejarah gemilang dengan keluarnya fatwa jihad oleh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ ari, yaitu fatwa wajib berperang bagi penduduk kota Surabaya dan sekitarnya melawan pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan NICA Belanda. Pengaruh fatwa itu kemudian melahirkan peristiwa perang paling hebat dan fenomenal dalam sejarah berdirinya negara Republik Indonesia yaitu perang Surabaya 1945.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini, dari satu sisi kultur pesantren masih mempertahankan kultur kritis, inklusif, oposan dan dekat dengan rakyat kebanyakan. Semangat pesantren di satu sisi adalah semangat pembelaan kaum lemah, kaum kecil yang selalu kalah dan menjadi korban ketidak-adilan penguasa. Hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan semangat ajaran amar ma’ ruf nahi munkar serta Islam sebagai agama keadilan dan agama yang dipahami sebagai rakhmat bagi semua alam atau rakhmatan lil alamiin.
Bila ditinjau dari uraian tersebut, pondok pesantren adalah sumbangan amat besar yang telah diberikan oleh para ulama kepada bangsa. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia sekaligus sebagai basis perjuangan fisik di masa kolonial dan lembaga pendidikan Islam yang selalu mengadakan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas.

PESANTREN: EMBRIO GERAKAN KULTURAL DAN CIVIL SOCIETY Di INDONESIA.

Sepanjang sejarahnya, pesantren mengambil peran menjaga jarak dengan penguasa. Ulama-ulama terdahulu sengaja mendirikan pesantren di tengah-tengah masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan. Mereka ada di kampung-kampung yang menyatu dengan masyarakat, karena sudah menjadi kodratnya, para penguasa selalu berjarak dan cenderung menindas rakyatnya. Keadaan seperti itu menyebabkan para ulama dan santrinya di pesantren masing-masing begitu menyatu dengan rakyat kebanyakan.
Nilai-nilai keagamaan berdasarkan penafsiran terhadap teks-teks kitab klasik (lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning, karena kertasnya yang berwarna kuning) yang sehari-harinya digeluti dan menjadi pegangan utama para ulama dan santrinya, pada akhirnya mau tidak mau bersentuhan dengan realitas kehidupan, adat-istiadat serta budaya masyarakat yang tidak terlepas dari nilai-nilai budaya lokal di mana masyarakat itu bertempat. Keadaan seperti ini, pada akhirnya memaksa para ulama mengambil nilai-nilai kearifan dengan cara menyesuaikan hukum-hukum fikih yang sudah baku dengan nilai-nilai baru yang bersentuhan langsung dengan persoalan hidup sehari-hari yang telah menjadi tradisi.
Maka, muncullah terobosan-terobosan baru hasil kajian para ulama yang melahirkan produk-produk budaya baru pula sebagai sintesa antara kaidah-kaidah keagamaan dan produk budaya lokal yang telah terlebih dulu eksis. Berangkat dari kearifan penafsiran kaidah yang amat terkenal di kalangan kaum nahdliyin, yaitu kaidah “Al-muhafadzatu ‘ala-al qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlakh” (memelihara tradisi yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), maka para ulama pesantren selalu berfikir kritis, dinamis dan progresif dalam menghadapi problema sosial kemasyarakatan yang ada.
Ritual turun-temurun yang telah berakar di masyarakat seperti ritual selamatan misalnya, adalah hasil kajian untuk menyiasati hukum yang semula adalah budaya Hindu Budha, kemudian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi ritual budaya tahlilan yang kental dengan ritual peribadatan yang amat islami. Biar pun untuk hal-hal semacam itu, warga NU selalu menjadi sasaran kecaman kaum Islam Modernis yang berhaluan Wahabi. Kaum Wahabi selalu mencela hal itu dengan menuduhnya sebagai bid’ ah dan khurafat yang sesat dan tidak berguna.
Proses “penyiasatan” seperti itu, sebetulnya telah ada sebelum kedatangan para wali menyebarkan Islam di Indonesia. Ritual peringatan Maulid Nabi dengan pembacaan sholawat dalam kitab Al Barzanzi yang dilagukan secara bersama-sama misalnya, adalah tradisi ritual yang berasal dari inisiatif Salahuddin Al Ayyubi (Sekitar tahun 1100-1200 M), untuk menyalakan semangat juang tentara Islam.
Proses seperti itu terus berkembang, seiring dinamika budaya masyarakat yang amat dinamis. Dan pada akhirnya, ulama-ulama pesantren terus mengembangkan wacana pemikiran yang didasari hukum-hukum fikih sebagai landasan untuk menjawab tantangan-tantangan zaman yang kian komplek. Proses itu berlangsung terus menerus. Ulama pesantren pada akhirnya pun berhadapan dengan wacana-wacana baru yang terkadang terasa mengejutkan. Berangkat dari hal-hal semacam itu, maka pada akhirnya ulama pesantren menjadi terbiasa berfikir kritis, metodis dan sistematis dalam menghadapi wacana-wacana baru, termasuk wacana keilmuan moderen yang berasal dari barat.
Akulturasi pemikiran semacam itu terus berkembang di segala bidang, termasuk dalam bidang politik di mana NU menjadi tidak asing lagi dengan isue-isue mengenai demokratisasi dan Hak-hak Asasi Manusia, misalnya. Dalam wacana politik, NU telah menemukan momentum paling tepat yang ditandai dengan peristiwa amat bersejarah bagi NU, yaitu saat berlangsungnya Muktamar NU di Situbondo yang menghasilkan keputusan penting yaitu NU kembali ke Khittah 26. Dalam peristiwa itu, NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Asas Tunggal Pancasila. NU menarik diri dari kegiatan politik praktis yang semula bergabung dan menjadi pendukung utama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan back to basick menjadi organisasi sosial yang mengurusi masalah agama, dakwah dan sosial. Politik bagi NU adalah politik bukan dalam arti sempit seperti hanya berkecimpung dalam politik praktis. Tetapi, arti politik bagi NU adalah peneguhan kembali kelangsungan berpolitik secara sangat luas sebagai upaya praktik nilai-nilai Islam sebagai agama rakhmatan lil alamiin.
Itu berarti, pada akhirnya terbukti bahwa Khittah 26 juga memberi landasan yang lebih leluasa kepada kegiatan dakwah NU karena dengan demikian dapat diartikan pula sebagai strategi para ulama mengambil jarak, sekaligus tidak banyak lagi berbenturan dengan pemerintah karena NU telah bertekad menjauh dari kegiatan politik yang tujuan akhirnya hanyalah mengincar kursi kekuasaan. Sejak saat itu, NU di bawah kepemimpinan Gus Dur semakin terlihat sebagai lokomotif utama gerakan penguatan masyarakat sipil (civil society).
Moment Muktamar Situbondo itu disamping disambut dengan suka-cita oleh segenap kaum nahdliyin, juga oleh pemerintahan rezim Orde Baru yang untuk sementara bisa bernafas lega karena NU sebagai organisasi massa yang mempunyai pengikut lebih dari Empat Puluh Juta orang lebih telah menyatakan tidak berpolitik praktis. Itu berarti, harapan bagi partai utama pendukung pemerintah waktu itu yaitu Partai Golkar untuk dapat meraih suara lebih banyak dari warga NU yang otomatis menjadi massa mengambang (floating mass) karena NU telah memisahkan diri dengan PPP. Andree Feillard, seoarng pengamat NU, menyebut peristiwa itu sebagai momen rekonsolidasi organisasi NU yang membentuk pola hubungan yang lebih baik antara NU dan pemerintah. (Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Lkis Yogyakarta, 1999)
Tetapi, kelegaan rezim Soeharto tidak berlangsung lama. NU kembali terasa menjadi kekuatan oposisi utama terhadap rezim Orde Baru. Para ulama dan massa NU di bawah pimpinan Gus Dur kembali terlihat sebagai kekuatan kritis yang berani mengambil resiko dengan bersikap vokal kepada berbagai kebijakan praktik politik rezim Soeharto yang otoriter. NU di bawah Gus Dur justru malah semakin kuat menjadi kelompok penekan yang mendapat dukungan dari massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Dukungan terhadap Gus Dur bukan hanya datang dari warga NU dengan para ulama dan pesantrennya serta tokoh-tokoh pro demokrasi, tetapi juga dari kelompok-kelompok minoritas dari agama-agama lain yang ada di Indonesia. Gus Dur adalah tokoh penganjur pluralisme dan toleransi umat beragama.
NU dengan massa yang amat besar jumlahnya, menjadi backing utama gerakan civil society yang dikomando oleh Gus Dur. Sepak-terjang Gus Dur bersama tokoh-tokoh pro demokrasi di tahun 1991 yang mendirikan Forum Demokrasi (sebagai kekuatan tandingan terbentuknya ICMI oleh para tokoh-tokoh Islam yang berhasil diperalat rezim Orde Baru) dirasakan semakin mengancam kedudukan Soeharto. Dengan berbagai cara Soeharto terus menekan Gus Dur. Tetapi, Gus Dur tetap kukuh melaju sebagai tokoh demokrasi sehingga akhirnya gerakan pro demokrasi yang didukung rakyat berhasil mengakhiri dominasi kekuasaan Orde Baru.
Berakhirnya kekuasaan Soeharto menjadikan pintu masuk proses demokratisasi di Indonesia yang selama ini diperjuangkan Gus Dur menjadi semakin terbuka. Hal itu pula dapat menjadi contoh sebuah kilas-balik perjalanan pemerintahan di Indonesia sejak era dimulainya kerajaan Islam di pulau Jawa yang nantinya berpengaruh amat besar bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia moderen yang demokratis.

Pernah ada keadaan di mana para ulama mengambil peran sangat signifikan dalam kehidupan negara dan pemerintahan, yaitu di masa awal berdirinya kerajaan Demak Bintoro di tahun 1478 M. Ketika itu, musyawarah Wali Songo sepakat mengangkat Raden Fattah, yang merupakan keturunan Brawijaya raja Majapahit, menjadi sultan di kerajaan Demak. Dalam perjalannya, pemerintahan Kerajaan Demak dipandang telah berhasil mencerminkan ciri-ciri negara demokrasi karena dalam memerintah, raja diangkat, diawasi dan dikontrol oleh Wali Songo sebagai pihak otonom yang dipercaya dapat menampung aspirasi rakyat. Raja selalu berkonsultasi kepada para ulama, terutama kepada Wali Songo dalam memutuskan hukum yang ada. Sistem pemerintahan demikian, dengan sendirinya telah mencerminkan “substansi” sistem pemerintahan demokrasi moderen, yaitu adanya keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila ada sementara ahli yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan Kerajaan Demak Bintoro adalah sistem pemerintahan paling demokratis yang pernah ada di Indonesia, bahkan bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan Indonesia moderen era Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno dan era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. (WS. Rendra: Teks Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki tahun 1995).
Baru di tahun 1999, sistem demokrasi kembali benar-benar berjalan dengan ditandai pemilihan presiden paling demokratis setelah sekian lama Indonesia berdiri, dengan terpilihnya seorang presiden yang juga ketua NU yang bernama KH. Abdurrakhman Wakhid atau Gus Dur. Dalam hal ini, bila kita mengacu kepada pemikiran WS. Rendra di atas tersebut, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pemerintahan paling demokratis di Indonesia adalah pada masa pemerintahan kerajaan Demak yang dikontrol oleh para ulama di tahun 1478 M sampai vakum selama Lima Ratus Tahun kemudian hingga munculnya Gus Dur sebagai presiden pertama yang diangkat secara paling demokratis dalam sejarah berdirinya negara Indonesia moderen.
Raden Fattah dan KH. Abdurrakhman Wahid atau Gus Dur adalah contoh figur seorang santri pesantren yang kemudian masing-masing menjadi seorang raja dan presiden. Raden Fattah adalah keturunan Majapahit yang belajar agama di pesantren Sunan Giri di Gresik. Sementara, Gus Dur adalah cucu pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ ari yang waktu mudanya menjadi santri di pesantren Krapyak, Tegalrejo serta Tambak Beras, Jombang. Raden Fattah adalah peletak dasar kerajaan Islam di Pulau Jawa. Sementara Gus Dur, disamping sebagai seorang ulama juga adalah tokoh demokrasi, Hak Asasi Manusia serta humanisme dan pluralisme yang paling penting dalam sejarah Indonesia.
Pergulatan pemikiran para kyai NU yang telah berhasil menghasilkan rumusan-rumusan pemikiran jauh ke depan dalam bidang kenegaraan dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap nilai-nilai baru seperti demokrasi, HAM, pluralisme, humanisme dan berbagai isme-isme mutahir lainnya seperti contoh di atas itu, adalah hasil kajian terus menerus teks-teks Islam klasik dalam upaya mencari dasar jawaban berbagai macam produk pemikiran mutahir. Bermula dari upaya menyandingkan kaidah fikih secara harmonis dengan produk-produk budaya lokal yang telah mapan, kemudian melahirkan gerakan kultural yang amat progresif sehingga melahirkan lompatan-lompatan gagasan yang brilian. Dengan demikian, semangat kultural NU yang mendasari gerakan da’ wah semakin mudah diterima keberadaannya di masyarakat Indonesia yang amat plural dan beragam.
Apa yang mendasari semangat para ulama NU dalam mengkaji permasalahan agama di satu sisi serta produk budaya masyarakat tertentu di sisi lain, adalah semangat kearifan mengambil kemaslahatan dalam setiap dilema permasalahan yang ada serta memakai salah satu kaidah logika: konteks sangat menentukan bangunan hukum yang akan terbentuk. Ibnu Abididin di dalam risalahnya Nasir al-‘Urf Fiy Ma Bana Min al-Ahkam ‘Ala al -‘Urf (Penyebaran Tradisi dalam Hukum-hukum yang Dibangun Berdasarkan Tradisi) mengatakan: “Banyak sekali hukum-hukum berubah oleh karena perubahan zaman yang disebabkan perubahan tradisi masyarakatnya, atau karena terjadinya kedaruratan atau karena rusaknya generasi suatu zaman. Di mana jika hukum tetap sebagaimana apa yang ada sebelumnya, maka akan terjadi kesulitan dan kerusakan di tengah masyarakat. Dan, akan menyalahi kaidah-kaidah syariat yang dibangun di atas asas peringanan dan pemudahan dan menghindari kerusakan dan kerugian”. (Dikutip dari Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdam NU).
Teks-teks seperti itu adalah salah satu contoh kaidah yang sering dipakai oleh para ulama dan menjadi pergulatan pemikiran para santri di pesantren sehingga kemudian lahirlah banyak sekali pemikiran-pemikiran yang mendasari keputusan dalam konteks kenegaraan, sosial, politik maupun kebudayaan. Tradisi yang terasa dinamis dan progresif itu menemukan masa puncaknya sejak NU dipimpin oleh Gus Dur. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, telah lahir tokoh-tokoh ulama sekaligus intelektual NU yang berlatar belakang pesantren seperti KH. Said Agil Siradj, KH. Masdar F Mas’ udi, KH. Muhammad Hussein maupun tokoh-tokoh yang lebih muda seperti Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Misrawi dan kawan-kawan yang telah siap membentengi NU dari arus tradisi pemikiran dan filsafat barat kontemporer yang semakin menjauh dari nilai-nilai Islam.
Pemikiran-pemikiran mereka yang humanis dan membumi, semakin menguatkan posisi NU sebagai pengawal Pancasila dan UUD 45 sebagai falsafah dan dasar hukum utama negara Republik Indonesia. Para ulama NU telah menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia secara final. Ulama, pesantren, intelektual serta massa NU adalah penjaga utama kehidupan bernegara yang kini kadang terasa terancam oleh banyaknya gerakan-gerakan yang bertujuan memecah-belah NKRI dengan berbagai macam alasan, termasuk salah satunya ancaman radikalisme dan terorisme dari gerakan-gerakan Islam garis keras yang sering membuat kekacauan dengan mengatas-namakan agama.
*****

22 April 2010.

Rabu, 30 September 2009

BILA ITU ADA

BILA ITU ADA

Bila ada tempat sunyi dari badut-badut berpesta
Mengobral kebohongan dengan mulut berbusa-busa
Menghisap darah sesama sambil berharap dirinya
... ...dianggap sebagai seorang Dewa

Maka, mataku berbinar-binar menjawab salam-salamnya

Bila ada tempat sepi dari hingar-bingar kata-kata
Yang tidak lagi punya kesaktian makna

Maka, aku berbisik syahdu sesamar bulan janjikan sebuah tahta

Bila ada tempat dengan kedamaian riuhnya sabda
Keriangan gesekan ranting-ranting pohon semesta
... ...seperti keintiman Beethoven menggauli nada-nada

Maka, aku berdansa dilumuri cahaya lampu-lampu kota

Bila ada tempat kenyamanan anak-anak kecil bercanda
Menertawakan orang tuanya - sang budak kemegahan harta-benda
... ...sambil menonton televisi pembuangan sampah segala dusta

Maka, aku menghirup nafasnya seharum seribu bunga

Bila ada tempat ruang etalase kebenaran sebagai magma
Dan keadilan mewujud ambisi yang berkobar di atas bara

Maka, aku bentangkan kanvas putih ajang pesta warna-warna tinta

Maka, aku akan mengelilingi sudut-sudutnya
Sambil menari-nari menyanyikan lagu-lagu cinta
... ...serta berkenduri dengan puji-pujian kepada Tuhan
... ...dengan mata merahku menyala-nyala

Cukanggalih-Tangerang-22 Romadhon 1430 H

NYANYIAN PEPOHONAN TUMBANG

NYANYIAN PEPOHONAN TUMBANG


Sampai kapan engkau mengutus perdu dan ilalang
Menyambut angin yang datang bergegas dan beringas
Selepas perjalanan penuh luka menerjang batu-batu karang

Angin tidak pernah lagi merentangkan tangannya
Lalu mesra mendekapku
Burung-burung pipit tidak lagi membuat sangkar
dengan ceceran bulu ketiakku
Dalam janji-janji sepagi gairah ketika wajah bumi tergores rona
Garis-garis keemasan yang melintang di hutan, menebar harmoni
Semesta alam raya dan pengembaraan jejak fantasia
Simfoni ke Enam allegro ma non troppo

Karena kau telah mencampakkannya ke dalam kawah pembuangan
Sampai hilang kepekaan denyut nadimu dalam satu nafas

Kegelisahan purba yang merayu dan menyingkap ujung kain gaunnya
Di antara dengus liar libido yang membuncah
Dalam hisapan syahwati kuncup-kuncup puting susu bidadari
Lalu kau selalu serakah merampasnya
Menggelontorkan dalam deras aliran sungai
Terbentur batu-batu kali sebelum dirajam runcing gergaji besi
Yang berkilau ketajamannya

Cerobong pabrik-pabrik menerjemahkan teks gairah cabulmu
Dengan satu matanya terpicing
“Membalut tubuh-tubuh istri dan mengisi perut anak-anak mereka,” katamu

Galeri-galeri menafsirkannya dalam gemericik penuangan anggur
Dan lengkungan garis senyum jalang perempuan-perempuan
Yang terurai merah, kuning, coklat dan hitam rambutnya

Dan kini etalase kota merayakannya dengan pesta-pesta tak berakhir
Dasi dan gaun sutera membersihkan permukaan dari jelaga dan debu
Mesin-mesin raksasa meraung-raung menguliti bongkahan bulat
Di cacah-cacah dalam puncak ketelanjanganmu

Sebelum dan sesudah aku terlempar di pembaringan tanah gersang
Sebelum dan sesudah tanah gersang terhampar air bah
Sebelum dan sesudah tanah gersang menjadi tungku alas pembakaran bumi
Sebelum dan sesudah kabar bencana jadi bahan cerita layar-layar televisi
Sebelum dan sesudah meja hidangan dibersihkan sewaktu sarapan pagi

DI PADANG KURUSETRA

DI PADANG KURUSETRA


Keletihan memenjarakanmu
Tak terbatas jarak
Kita jumpa di remang kehendak
Di tengah gemerincing pertarungan
Padang Kurusetra

Matamu menyala kilau pedang
:Tajam siap menghujam
Semerah langit api yang tergores kejam

Di negeri yang menggelegak terpanggang api
Hantu-hantu berdandan secantik bidadari

Menggelinjang,
Mereka
Mencucup tulang sumsum
Dalam cerucup puncak kenikmatan

Gelisahnya membaur angin dipadang ilalang
Yang berdendang abadi

Kawan, bertarunglah demi kedamaianmu
Sebelum habis dikunyah matahari
Mungkin masih ada sisa di peraduanmu
Atau dilembar catatan puisi
Tentang deru nafas anak kecil
Dalam lelap mimpi

Sedang aku tak sabar menunggu
Lamanya berlalunya waktu

LAGU KARYA WS. RENDRA

Lagu-lagu WS. Rendra dalam album Kantata Takwa:


PAMAN DOBLANG

Paman Doblang
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap
Tanpa lampu
Dan tanpa lubang cahaya
O, ....Pengap
Ada hawa... tak ada angkasa

Terkucil
Temanmu beratus nyamuk semata
Terkunci
Tak tahu kapan pintu akan terbuka
Kamu tak tahu di mana berada
Paman Doblang... Paman Doblang...
Apa katamu

“Ketika harus aku minum air
Dari kaleng karatan
Sambil bersila aku mengarungi waktu
Lepas dari jam, hari, dan tanggal
Aku dipeluk oleh wibawa”

Tidak berbentuk...tidak berupa...tidak bernama...
Aku istirahat di sini
Tenaga gaib memupuk jiwaku
Paman Doblang... Paman Doblang...
Di setiap jalan menghadang
Mastodon dan serigala

Kamu terkurung dalam lingkaran
Para pengeran meludahi kamu
Dari kereta kencana
Kaki kamu dirantai ke batang karang
Kamu dikutuk dan disalahkan
Tanpa pengadilan

Paman Doblang... Paman Doblang...
Bubur di piring timah
Didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang... Paman Doblang...
Apa katamu...

Kesadaran adalah matahari
Adalah matahari, adalah matahari

Kesabaran adalah bumi
Adalah bumi, adalah bumi

Keberanian menjadi cakrawala
Menjadi cakrawala, menjadi cakrawala

Dan perjuangan adalah
Pelaksanaan kata-kata

Kesadaran adalah matahari
Adalah matahari, adalah matahari

Paman Doblang, Paman Doblang
Apa katamu?



Lirik : WS. Rendra
Musik : Jockey Soeryoprayogo, Iwan Fals
Vocal : Iwan Fals, Sawung Jabo
Backing Vocal : Bengkel Teater
Musisi : Setiawan Djody, Naniel K Yalkien, Innisisri, Eet Syahranie, Jockey Soeryoprayogo, Donny Fattah, Sawung Djabo.


Sebuah lagu untuk menjadi renungan.
Pantas untuk jadi koleksi anda para penggemar musik, selagi kita masih dapat mencari kaset atau CD-nya di toko-toko. Bila perlu, carilah kaset atau CD-nya di lapak-lapak barang loak bila anda tidak menemukannya di toko-toko kaset. Bukan hanya kekuatan liriknya yang ditulis oleh almarhum WS. Rendra, tetapi juga karena kekuatan musikalnya yang di atas rata-rata kualitas musik rekaman artis Indonesia, terutama bila dibanding karya-karya musik rekaman Indonesia akhir-akhir ini yang amat miskin dengan karya-karya yang layak didengar.
Lagu Paman Doblang adalah salah satu dari sepuluh lagu dalam album Kantata Takwa di tahun 1990. Lagu-lagu lain dalam album ini adalah: Kantata Takwa sebagai lagu pembuka, Kesaksian, Orang-Orang Kalah, Balada Pengangguran, Nokturno, Gelisah, Rajawali, Air Mata dan Sang Petualang. Sekadar untuk mengingatkan, kelahiran kelompok Kantata Takwa yang dibidani oleh Setiawan Djody, sempat menggemparkan dunia musik Indonesia dengan konser-konsernya yang amat spektakuler. Kelompok ini memainkan lagu-lagu berirama Rock Progressif yang kaya instrumen, yang hadir dengan segudang kekuatannya. Lirik-lirik dalam album ini sebagian besar ditulis oleh almarhum WS. Rendra. Kecuali lagu Orang-Orang Kalah yang ditulis oleh Sawung Djabo serta lagu Air Mata dan Sang Petualang yang ditulis oleh Iwan Fals. Para musisi yang memperkuat kelompok ini adalah para musisi yang tidak diragukan lagi integritasnya sebagai seorang seniman musik. Vokalnya Iwan Fals, Setiawan Djody, dan Sawung Djabo. Backing vokal-nya Jockey Soeryoprayogo, Sunarti Suwandi dan kelompok Bengkel Teater. Ditambah lagi dengan beberapa orang musisi tamu seperti: Totok Thewel pada gitar, Embong Rahardjo pada saksofon, Budi Haryono pada drum dan Raidy Noor pada bas. Penata musiknya Jockey Soeryoprayogo yang memberi warna amat progresif dalam keseluruhan lagu.
Dalam lagu Paman Doblang contohnya, lagu dibuka dengan irama berulang-ulang dari keyboard yang dimainkan oleh Jockey Soeryoprayogo yang ritmis, seolah menggambarkan kesunyian yang mencekam suasana dalam sebuah penjara. Suara drum Innisisri semakin memperkuat pelukisan suasana liris dan mencekam, dengan kejatuhan stik drum yang berhasil membawa pelukisan suara langkah-langkah sepatu para petugas penjara yang berat dan menggema.
Selanjutnya, permainan drum Innisisri dengan kekayaan variasi dan perhitungan amat matang setiap kejatuhan pukulannya, telah membuktikan bahwa ia dapat dikatakan sebagai seorang drummer terbaik Indonesia, walaupun kenyataannya ia kurang dikenal namanya dalam peta musik Indonesia selama ini. Peta Musik Indonesia rupanya hanya mengenal nama-nama drummer yang kemampuannya masih jauh di bawah kemampuan permainan seorang Innisisri. Bahkan dalam lagu-lagu lain di album ini secara keseluruhan, kemampuan Innisisri setara dengan kemampuan drummer-drummer rock kelas dunia seperti John Bonham dalam nomor-nomornya kelompok Led Zeppelin, Alex Van Hallen dalam lagu-lagunya kelompok Van Hallen ataupun Phil Collins dalam lagu-lagunya kelompok Genessis. Mungkin hanya permainan kecepatan variasi pukulan yang ditunjukkan oleh Alex Van Hallen dalam lagu Pleasure Dome di album For Unlawful Carnal Knowledge yang belum bisa ditandingi oleh Innisisri.
Salah satu contohnya adalah permainannya dalam lagu Orang-Orang kalah. Dalam lagu ini, intro lagu dibuka dengan pukulan drum bertubi-tubi yang mengesankan orang-orang yang sedang mengamuk dalam keputus-asaannya, dengan diiringi sayatan duo gitar heavy metal Setiawan Djody dan Eet Syahranie yang menjerit-jerit. Kasar seperti mencakar-cakar, tetapi dramatis dan memilukan. Album Kantata Takwa ini, tampaknya menjadi puncak eksperimen permainan drum dan perkusi yang ditunjukkan oleh Innisisri. Dalam lagu Orang-Orang Kalah, ia memainkan instrumen-instrumen pukulnya dengan efek dengaran yang berbeda-beda. Terkadang terkesan liar dan ganas, terkadang rapi tapi menghentak mengikuti rhytme, dan terkadang terkesan memberontak dengan kekuatan pukulan yang menggelegar dan memberi kesan mengerikan.
Dalam lagu Kantata Takwa (semula berjudul Takwa), permainan drum Innisisri mampu mengimbangi suara rebana yang dimainkan oleh Sawung Djabo dengan kesan tertib, teratur, dan harmonis sehingga terasa nyaman didengar sebagai warna tersendiri dalam sebuah irama progresif rock yang religius. Kesan seperti itu tetap terjaga ketika bagian akhir lagu diselipi alunan pembacaan Ayat Kursi oleh Sunarti Suwandi dan gema dzikir berulang-ulang sebagai back ground vokal, sehingga kesan bising karena banyaknya instrumen musik dan suara vokal tidak mengurangi kesan sebuah lagu religius yang memberi kesan khusyuk dan khidmat.
Perpaduan vokal Iwan Fals yang lantang dan banyak disertai jeritan-jeritan yang terasa perih, dengan sekali-kali ditingkahi suara Sawung Djabo, Setiawan Djodi dan Jockey Soeryoprayogo yang berat seakan penuh beban, menunjukkan bahwa lagu-lagu dalam album ini adalah sebuah ekspresi pelampiasan keputus-asaan dalam memandang keadaan Indonesia di bawah rezim otoriter Orde Baru yang represif.
Album Kantata Takwa yang lahir di tahun 1990 ini, sangat pantas dikoleksi sebagai sebuah karya yang langka. Album master piece puncak kualitas karya musik rock Indonesia.
Ini adalah album musik rock Indonesia yang membutuhkan konsentrasi dan kejernihan untuk mendengarkan. Bukan sekedar musik rekaman yang cukup didengar sambil lalu, sambil berlalu mengunyah kacang goreng seperti rata-rata lagu-lagu Indonesia saat ini. Terbukti, sembilan belas tahun sudah tidak ada karya musik rekaman Indonesia yang dapat menandingi kualitas album Kantata Takwa. Bukan hanya musiknya yang eksploratif, ekspresif dan dramatis, tetapi juga kekuatan liriknya yang penuh kritik dan memberontak pada keadaan.
Di dalam album ini, WS Rendra tetaplah WS Rendra. Ia tetap setia dengan pembelaannya terhadap orang-orang yang kalah dan tertindas. Syair-syairnya yang dilagukan dalam album Kantata Takwa ini, tetap menjadi ciri khas WS Rendra yang tidak mau terjebak dalam godaan arus yang mendayu-dayu sehingga bisa berpotensi mengurangi kegagahan semangat perjuangannya. Gambaran seperti itu, seperti yang terdapat dalam petikan syairnya dalam lagu Rajawali: “Bertahan pada godaan-Prahara atau topan-Keberanian-Setia kepada budi-Setia pada janji-Kegagahan.”
Kritik dan pemberontakan WS. Rendra pada rezim Orde Baru terdapat dalam lagu-lagu Kesaksian, Paman Doblang, Balada Pengangguran, Gelisah dan Rajawali. Satu lagu lain yang mengkritisi semangat hedonis dan konsumerisme-walaupun tetap dalam bingkai kritik terhadap situasi di zaman Orde Baru terdapat pada lagu Nokturno. Di mana dalam lagu ini, kita jadi ingat sajak-sajak WS Rendra yang keras dan radikal seperti sajak-sajaknya dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi:

NOKTURNO

Aku rasa hidup tanpa jiwa
Orang yang miskin ataupun kaya
Sama ganasnya terhadap harta
Bagai binatang di dalam rimba

Sialan...sialan...sialan...

Kini pikiranku kedodoran
Dilanda permainan yang brutal
Aku dengar denyut kesadaran
Tanganku capek mengetuk pintu

Sialan...sialan...sialan...sialan...

Zaman edan tanpa kewajaran
Gambar iklan jadi impian
Gambar iklan jadi impian
Akal sehat malah dikeluhkan
Monyet sinting minta persenan

Sialan...sogokan...sialan...sogokan...

Aku panggil kamu jiwaku
Kugapai kamu di kegelapan
Jadilah kamu bintangku
Jadilah kamu bintangku

Jadilah kamu samuraiku

Sialan...sogokan...godaan...sialan...

Sayangnya, album Kantata Takwa yang masih beredar di toko-toko kaset belakangan ini, telah mengalami perubahan yang cukup banyak bila dibandingkan edisi pertama di tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh. Perubahan itu bukan hanya terdapat dalam cover kaset yang kurang informatif dan desainnya yang tidak sebaik di edisi pertama. Tetapi juga dalam proses remixing yang telah mengalami perubahan, sehingga terasa ada perbedaan efek sound yang cukup mengganggu bila kita membandingkannya. Perbedaan yang sangat kentara terdapat dalam lagu Kesaksian, di mana dalam lagu itu, efek permainan keyboard Jockey Soeryoprayogo terasa kurang alami dan efek back ground vokal Sunarti Suwandi kurang menyayat seperti halnya dalam album edisi pertama. Pihak Airo Swadaya Stupa Records-perusahaan rekaman milik Setiwan Djody yang menjadi produser album ini, rupanya masih kurang maksimal dalam mendokumentasikan album musik rock Indonesia yang monumental ini.
Akhirnya, sambil mengenang belum genap Seratus Hari wafatnya penyair besar WS Rendra, kita simak salah satu sajak-nya yang diiringi oleh irama hard rock yang menghentak, dalam lagu Rajawali-yang tampaknya didedikasikan untuk seorang tokoh di negeri ini.


RAJAWALI


Satu sangkar dari besi
Rantai kasar pada hati
Tidak merubah rajawali
Menjadi burung nuri

Rajawali...rajawali...

Satu luka perasaan
Maki puji dan hinaan
Tidak merubah sang jagoan
Menjadi makhluk picisan

Rajawali-rajawali

Burung sakti di angkasa
Lambang jiwa yang merdeka
Pembela kaum yang papa
Penggugah jiwa lara

Jiwa anggun teman sepi
Jiwa gagah pasti diri

Sejati

Bertahan pada godaan
Prahara atau topan

Keberanian

Setia kepada budi
Setia pada janji

Kegagahan

Menembus kabut malam
Menguak cadar fajar
Mendatangi matahari
Memberi inspirasi

Rajawali-rajawali
Rajawali-rajawali
Rajawali-rajawali

(Mendaki, mendekati
Meninggi, meninggi, meninggi
Bersepi, bersepi, bersepi)

*****

DI PADANG KURUSETRA

DI PADANG KURUSETRA


Keletihan memenjarakanmu
Tak terbatas jarak
Kita jumpa di remang kehendak
Di tengah gemerincing pertarungan
Padang Kurusetra

Matamu menyala kilau pedang
:Tajam siap menghujam
Semerah langit api yang tergores kejam

Di negeri yang menggelegak terpanggang api
Hantu-hantu berdandan secantik bidadari

Menggelinjang,
Mereka
Mencucup tulang sumsum
Dalam cerucup puncak kenikmatan

Gelisahnya membaur angin dipadang ilalang
Yang berdendang abadi

Kawan, bertarunglah demi kedamaianmu
Sebelum habis dikunyah matahari
Mungkin masih ada sisa di peraduanmu
Atau dilembar catatan puisi
Tentang deru nafas anak kecil
Dalam lelap mimpi

Sedang aku tak sabar menunggu
Lamanya berlalunya waktu

Materi Blog Kami

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarokatuh

Dunia adalah forum besar untuk mewadahi hubungan antar manusia.